Gotong Royong Dalam Kekuasaan
(24/04/2024)Oleh : Dr. Fathul Mu’in, Sekretaris Program Studi Hukum Tatanegara UIN Raden Intan Lampung
Komisi Pemilihan Umum menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan wakil presiden terpilih, Rabu, (24/4/2024). Penetapan itu setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Pilpres 2024. Dengan penetapan tersebut, maka Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden menggantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin pada 20 Oktober 2024. Sambil menunggu hari pelantikan, yang menarik untuk ditunggu adalah mengenai komposisi koalisi di pemerintahan dan oposisi, termasuk didalamnya adalah persiapan transisi.
Sikap Negarawan
Sebelum membahas peta koalisi kekuasaan dan oposisi, sikap kenegarawanan telah ditunjukkan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD dengan menerima putusan Mahkamah Konstitusi. Sikap kenegarawanan dua pasangan tersebut sangat patut diapresiasi. Mereka telah menunjukkan sikap kenegarawanan yang konstitusional karena MK adalah lembaga yang memutuskan secara final dan mengikat. Selain menerima hasil putusan MK, sikap kenegarawanan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud ini juga dicerminkan melalui pemikiran kritis tentang konstitusi Indonesia ke depan. Mereka telah memberikan catatan kritis tentang masa depan konstitusi Indonesia yang masih punya harapan karena ada dissenting opinion tiga hakim Mahkamah Konstitusi.
Publik tentu harus menghormati sikap kenegarawanan keempat tokoh tersebut sekaligus memberi harapan bagi masa depan bangsa bersama tokoh-tokoh lainnya. Kalaulah Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud telah menerima putusan MK, idealnya para pendukungnya juga menerimanya dan memiliki sikap kenegarawanan yang serupa, suka ataupun tidak. Masyarakat Indonesia memiliki kewajiban menghormati putusan Mahkamah Konstitusi soal sengketa Pilpres 2024, menghormati hakim, semuanya bertanggung jawab masing-masing dengan amanahnya baik kepada bangsa maupun kepada Tuhan. Saat ini waktunya untuk gotong royong dan bekerja lagi untuk Indonesia dengan posisinya masing-masing.
Koalisi atau Oposisi?
Saat ini spekulasi terus bermunculan tentang partai mana yang berada di pemerintahan maupun partai mana yang siap untuk beroposisi di luar pemerintahan. Sebagai informasi, pada pilpres 2024, partai politik pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar adalah NasDem, PKS dan PKB. Pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yakni Gerindra, Golkar, PAN, PBB dan Gelora. Sedangkan pendukung Ganjar Pranowo-Ganjar Mahfud adalah PDIP, PPP, Hanura dan Perindo. Sekarang pertanyanya haruskah partai politik yang capresnya kalah dalam pipres harus menjadi oposisi? Jawabannya tentu tidak wajib. Sebab, baik di koalisi pemerintah maupun di oposisi adalah sama-sama mulia jika mampu menjalankan fungsinya dengan baik.
Maka dari itu, baik NasDem, PKS, PKB dan PDIP bisa saja bergabung dalam kabinet Prabowo-Gibran. Sebab, koalisi yang kuat di pemerintahan sangat baik dalam mengeksekusi program maupun kebijakan-kebijakan yang sangat strategis untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Karena, jika koalisi ramping akan banyak program yang diganjal oleh DPR karena menang jumlah dari partai pemerintah. Dalam khazanah sejarah politik Indonesia, ada kultur politik yang membuat nyaman presiden dalam kekuasaannya. Maksudnya, kekuasaan dikendalikan secara damai tanpa gejolak politik apa pun, tanpa oposisi yang kuat, dan selalu berhasil mempertahankan kekuasaannya.
Akan tetapi, dalam Negara demokrasi, partai oposisi diperlukan guna menjadi penyeimbang dalam pemerintahan. Sebab, pemerintahan tanpa oposisi memiliki kecenderungan untuk korup, otoriter dan abuse of power.Menjadi oposisi juga merupakan pekerjaan yang mulia lantaran bisa mengawasi jalannya pemerintahan, untuk mengontrol, meluruskan jalan supaya tidak salah. Layak ditunggu peta koalisi dan oposisi sambil tetap bekerja untuk negeri!